Beranda | Artikel
Penyalinan dan Penulisan Ilmu
Rabu, 17 Januari 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Penyalinan dan Penulisan Ilmu ini adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Talbis Iblis. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin , 3 Rajab 1445 H / 15 Januari 2024 M.

Kajian tentang Penyalinan dan Penulisan Ilmu

Nabi mengatakan dalam sebuah hadits yang shahih:

نضَّر اللهُ امرأً سمِعَ مقالَتي فوَعاها فأدَّاها كما سمِعَها

“Semoga Allah membuat berseri wajah seseorang yang mendengar perkataanku, kemudian dia memahaminya, dan dia menyampaikannya sebagaimana yang dia dengar.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini menganjurkan kita untuk menyampaikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa hadits-hadits beliau. Maka para sahabat menulis apa yang dikatakan nabi, mencatat apa yang disabdakan, bahkan mereka mencatat apa yang mereka saksikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di samping itu juga merekam dengan hafalan apa yang mereka dengar dan saksikan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Menyampaikan hadits sesuai dengan apa yang didengar, hampir tidak bisa dilakukan kecuali dengan membaca dari tulisan, sebab menyampaikannya melalui hafalan terkadang lupa, karena tidak semua orang memiliki kekuatan hafalan yang sama. Maka, salah satu periwayatan hadits adalah periwayatan melalui tulisan, dan itu yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Mereka menyalin hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ketika Ahmad bin Hambal Rahimahullah sedang menyampaikan hadits, seseorang meminta kepadanya: “Diktikanlah hadits itu untuk kami dari hafalanmu.” Imam Ahmad menjawab: “Tidak dari hafalanku, melainkan dari kitab (yaitu dari tulisan).” Jadi, beliau membacakan apa yang tertulis dari catatan-catatan hadits.

Itu adalah Imam Ahmad yang kita kenal dengan kekuatan hafalannya. Disebutkan beliau menghafal 1 juta hadits. Tapi dalam periwayatan hadits kadang-kala juga bersandar dengan apa yang dicatat.

Ali Ibnul Madini mengatakan: “Guruku Imam Ahmad bin Hambal, menyuruhku agar menyampaikan hadits melalui kitab (membacakannya dari tulisan).”

Para sahabat Nabi telah meriwayatkan sunnah, lalu sunnah itu diterima oleh para tabi’in. Kemudian, para ahli hadits menempuh perjalanan jauh, ke timur maupun ke barat, untuk mendengarkan hadits dari berbagai sumber.

Kemudian, mereka menshahihkan yang shahih dan mendhaifkan yang tidak shahih, yaitu memilah hadits, mengkritik, dan merekomendasikan para perawi-perawi hadits. Karena diriwayatkan dari orang ke orang, dari generasi ke generasi, maka perlu diketahui keadaan para perawi-perawi hadits ini. Itu yang dikenal dengan sebutan ilmu jarh wa ta’dil, ini salah satu cabang dari ilmu hadits, bahkan ini adalah ilmu yang sangat penting untuk menimbang dan menilai status sebuah hadits, shahih atau tidak shahih.

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga agama ini, sehingga terpelihara dari jamahan orang-orang yang punya tujuan yang buruk terhadap Islam, sehingga tidak ada celah bagi para zindiq atau orang-orang yang berusaha untuk merusak syariat, melakukan pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga para ulama bisa membedakan mana hadits yang shahih dan mana hadits yang tidak shahih dengan kaidah-kaidah ilmu hadits.

Demikianlah, itu adalah suatu usaha yang sangat besar bagi Islam dan kaum Muslimin, dalam menjaga kemurnian syariat Islam, sehingga kita dapat mengenali Islam sebagaimana yang dikenali oleh para Salaf kita, seperti yang dikenali oleh para sahabat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kalau tidak, mungkin kita akan salah mengerti tentang syariat, dan kita tidak akan dapat menerjemahkan syariat ini seperti yang dikehendaki dan dipahami Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Maka kita perlu riwayat-riwayat dari para sahabat ini yang menggambarkan kepada kita bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menerjemahkan wahyu yang diturunkan kepada beliau. Begitulah Islam ini dijaga dari langit, sehingga tidak mudah untuk dirusak, seperti agama-agama terdahulu yang tidak dapat ditelusuri lagi akarnya dan tidak bisa dipastikan lagi keautentikannya.

Ilmu hadits adalah ilmu yang besar. Ini adalah keistimewaan umat ini yang tidak dimiliki oleh umat-umat yang lain. Kita kaum Muslimin, patut berbangga karena memiliki ilmu hadits dan ulama-ulama hadits yang begitu gigih membela hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari berbagai tindak pemalsuan atau usaha-usaha untuk memalsukan atau merusaknya.

Lalu ada orang yang melenyapkan semua itu, sehingga seluruh keletihan ataupun usaha itu terbuang percuma, dan tidak mengetahui hukum Allah yang berkaitan dengan agama yang diturunkan Allah kepada nabiNya. Maka itu adalah suatu perlakuan yang semena-mena terhadap syariat. Tidak ada perlakuan yang semena-mena terhadap syariat seperti yang dilakukan oleh mereka ini yang berusaha untuk mengubur ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat dan sangat penting, yaitu ilmu hadits.

Maka ketika kaum Sufi ini begitu membenci ilmu hadits, kita dapat membaca kemana arahnya, apa yang mereka inginkan. Banyak bid’ah muncul di dalam agama ini disebabkan pendapat-pendapat yang tidak berdasar kepada hadits atau kepada dalil.

Syariat umat-umat sebelum kita tidak memiliki sanad yang terhubung hingga nabi mereka. Semua riwayatnya gelap, tidak diketahui, dan tidak bisa dipastikan, apakah itu benar-benar dari perkataan orang tersebut atau itu adalah perkataan nabinya. Ini tidak dimiliki bahkan oleh Yahudi dan Nasrani. Sampai sekarang mereka masih memperdebatkan keautentikan naskah kitab suci mereka. Tidak usahlah hadits-haditsnya, bahkan kitab sucinya saja masih diperdebatkan tentang keautentikannya.

Sementara Islam, Allah jaga. Kitab sucinya jelas tidak berubah satu huruf pun, bahkan tidak bergeser, tidak berubah satu huruf pun dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sudah banyak usaha untuk memalsukan, untuk menambah, mengurangi, tapi gagal, tidak mampu untuk melakukannya. Dan yang lebih menakjubkan lagi adalah hadits-hadits nabi juga dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena yang dimaksud dengan:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan adz-dzikr (Al-Qur’an dan hadits), dan Kami-lah yang akan memeliharanya.” (QS. Al-Hijr[15]: 9)

Allah bukan hanya memelihara Al-Qur’an, tapi juga hadits. Sehingga tidak mudah seseorang mengatakan “nabi berkata” menisbatkan suatu kepada nabi, tapi tidak jelas. Itu akan ketahuan dengan ilmu hadits yang telah dibuat oleh para ulama, terutama ulama-ulama hadits. Begitu besar jasa mereka. Maka sungguh sangat buruk siapa saja yang berusaha untuk menghapus semua yang telah dibuat oleh para ulama-ulama hadits. Bahkan bisa dikatakan itu adalah kejahatan terhadap syariat. Karena untuk menyusun ilmu sedetail itu tentunya tidak bisa dilakukan oleh satu orang. Ini adalah karya para ulama hadits dari generasi ke generasi, mereka terus menyempurnakan ilmu hadits ini. Sehingga sampai pada tahapan mereka bisa membedakan antara hadits shahih dan hadits yang tidak shahih.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/53816-penyalinan-dan-penulisan-ilmu/